Artikel

Ada Nasib Jutaan Orang, Rokok Tak Bisa cuma Dilarang

 
 | ArusBaik

ArusBaik.id - Permasalahan rokok kembali mencuat dalam beberapa waktu terakhir. Perdebatan antara boleh tidaknya rokok mencuat setelah seorang warganet membeberkan bahaya rokok pada kesehatan. Pernyataan itu kemudian dibantah dengan warganet lain yang mendukung rokok itu sendiri.

Lantas bagaimana sikap seharusnya terkait rokok?

Sebenarnya, permasalahan rokok ini tidak bisa hanya berhenti pada level dilarang atau diperbolehkan. Pasalnya, permasalahan rokok mencakup beragam aspek mulai dari kesehatan, ekonomi, sejarah hingga budaya dan agama.

Pada level agama saja, dalam hal ini Islam, terdapat perbedaan pendapat yang cukup ekstrem. Secara institusi, Majelis Ulama Indoneia (MUI) sejak tahun 2009 lalu sudah mengeluarkan fatwa haram merokok bagi anak-anak, ibu hamil dan merokok di tempat umum.

Namun, fatwa ini tidak otomatis diterapkan oleh seluruh umat Islam. PBNU saja sebagai organisasi keislaman terbesar di Indonesia memberikan fatwa yang berbeda terkait rokok. Pun pula dengan banyaknya ustaz atau kiai yang masih merokok. Fakta yang menandakan bahwa persoalan rokok tidak bisa berhenti pada pelarangan atau pembolehan.

Sejarah Rokok dan Industrinya

Jika melihat sejarah, maka rokok dan perokok memiliki sejarah yang sangat panjang. Sejumlah sumber meyakini bahwa bangsa yang pertama kali merokok di dunia adalah bangsa Indian di Amerika, untuk keperluan ritual berdasarkan keyakinan mereka.

Kebiasaan rokok ini kemudian menular kepada bangsa Eropa saat mereka menginjakkan kaki di Amerika dan berinteraksi dengan bangsa Indian pada kurun waktu abad ke-16 masehi.

Sementara di Indonesia, rokok pertama kali dikenal pada masa kolonial Belanda. Berdasarkan catatan yang ada, Belanda sengaja menanam dan mengembangkan tanaman tembakau di Nusantara. Visi tersebut berhasil dengan diakuinya kualitas tembakau asal Nusantara.

Industri tembakau dalam negeri tetap bertahan seiring waktu. Pada tahun 2020 saja, penerimaan cukai dari sektor industri tembakau yang merupakan bahan baku rokok ini mendulang angka yang fantastis, yaitu mencapai Rp 176,3 triliun. Industri ini juga menyerap jutaan tenaga kerja di Indonesia.

Terait jutaan orang yang menggantungkan nasib di industri rokok ini dikonfirmasi oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Menurutnya, ada 7 juta petani dan pekerja di seluruh Indonesia yang bergerak di sektor industri tembakau.

Angka itu kurang lebih sama dengan yang diungkapkan Sosiolog Universitas Gajah Mada (UGM), AB. Widyanta. Menurutnya, ada enam (6) juta orang yang menggantungkan hidupnya pada industri tembakau.

Sehingga, Widyanta menilai gerakan antitembakau atau antirokok yang berkembang justru akan sangat merugikan rantai industri tembakau dalam negeri.

Fakta terkait industri tembakau ini tentu tidak bisa dikesampingkan begitu saja ketika berbicara tentang boleh tidaknya rokok. Pemangku kebijakan di level daerah harus mempertimbangkan hal ini jika akan membuat kebijakan yang mengarah pada pelarangan rokok.

Jangan sampai kebijakan terkait pengendalian rokok malah merugikan jutaan petani dan pekerja sektor tembakau yang menggantungkan hidupnya dari sana.

Akhir kata, seperti judul dalam artikel ini, rokok tidak bisa berhenti pada pelarangan belaka. Harus ada solusi agar semua sektor yang berkaitan dengan rokok bisa mendapatkan ruang sebagaimana mestinya. (WIL)

Simak penjelasan ringkasnya berikut ini: