Artikel

Impor Beras: Antara Faktor Alam dan Tekanan Politik

 
 | Arusbaik

Maraknya perhatian pada impor beras 1 juta ton lebih terlihat sebagai sorotan politis. Impor beras dinilai sebagai kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Namun, di balik politik, ada pengaruh alam yang sudah diprediksi oleh badan pangan dan pertanian Dunia FAO, yang telah memberi peringatan akan krisis pangan yang diakibatkan oleh perubahan iklim, pemanasan global, dan bencana alam.

Seperti yang telah diprediksi, Indonesia juga terdampak pada perubahan iklim. Tahun ini, curah hujan di Indonesia cenderung lebih tinggi di banding tahun sebelumnya, mengakibatkan produksi gabah petani basah. Sementara itu Badan Urusan Logistik (Bulog) yang bertugas membeli gabah rakyat harus berpatokan pada aturan yang mengharuskan gabah bisa dibeli dengan tingkat kekringan 25 persen.

Faktor alam telah menyebabkan gabah yang dipanen petani tidak bisa diserap oleh Bulog. Sejak Januari hingga Maret, Bulog Hanya mampu menyerap sekitar 70 ribu ton saja per bulan, jauh dari target yang seharusnya bisa mencapai 300 ribu ton per bulan. Dengan tingkat penyerapan yang rendah, ditambah perhitungan yang meleset tentang konversi gabah menjadi beras, pemerintah harus membuka opsi impor beras.

Sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012, negara harus memasok cadangan beras maksimal sebesar 2 juta ton. Sementara Bulog Hanya menyimpan sekitar 800 ribu ton, itu pun termasuk 300 ton beras sisa impor tahun 2018 yang kualitasnya sudah menurun. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi tidak bisa menghindari opsi yang harus diambil pemerintah, yaitu impor beras sebesar 1 juta ton untuk mengatasi kekurangan beras.

Kebijakan yang sulit ini kemudian mendapat reaksi keras dari berbagai pihak, terutama para politisi yang punya misi politisnya masing-masing. Namun, di luar politik, masyarakat bisa melihat secara lebih objektif, apakah keputusan yang berat untuk impor beras ini adalah kebijakan yang keliru atau yang sudah bijak?