Artikel

KUHP Warisan Penjajah Belanda, Harus Diganti Segera

 
 | ArusBaik

ArusBaik.id - Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masih menjadi polemik setelah sebelumnya sempat ditunda. Diketahui, revisi ini sejatinya akan disahkan pada 27 September 2019 silam.

Namun, penolakan yang luas dari masyarakat membuat DPR dan Pemerintah saat itu menunda pengesahan revisi KUHP. Penundaan dilakukan untuk membenahi sejumlah pasal yang dinilai kontroversi oleh masyarakat saat itu.

Sebenarnya, maksud dari revisi KUHP ini sangat baik. Pasalnya, KUHP yang selama ini menjadi landasan setiap kasus pidana di Indonesia merupakan warisan penjajah Belanda sebelum Indonesia merdeka dulu.

Dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP yang ditunda pengesahannya itu, dijelaskan bahwa KUHP perlu direvisi agar Indonesia memiliki landasan hukum pidana nasional yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

"Perlu disusun hukum pidana nasional untuk mengganti KUHP warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda," demikian bunyi pertimbangan RUU KUHP dikutip dari Detikcom, Selasa (8/6).

Di masa penjejahan, landasan hukum pidana yang saat ini dikenal sebagai KUHP itu bernama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Landasan hukum ini diundangkan melalui Staatsblad atau lembaga negara.

Karena merupakan produk hukum penjajah, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie ini dalam perjalanannya menggusur produk hukum lokal yang ada di Nusantara kala itu.

Diketahui, wilayah Nusantara yang terdiri dari berbagai kerajaan sudah barang tentu memiliki produk hukum baik yang berlandaskan pada adat istiadat, agama maupun kebiasaan masyarakat. Namun semua itu terpinggirkan saat penjajag Belanda menerapkan landasan hukum miliknya itu.

Dalam perjalanannya, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie hanya berlaku di wilayah Pulau Jawa dan Madura saja. Hal itu berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang diterbitkan pemerintah Indonesia tanggal 26 Februari 1946.

Baru pada tahun 1958, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie mulai berlaku di seluruh wilayah Indonesia melalui UU Nomor 73 Tahun 1958.

Dari fakta sejarah ini, dapat dipahami bahwa Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie diadopsi menjadi KUHP dipengaruhi unsur darurat mengingat Indonesia baru merdeka. Namun, seiring berjalannya waktu, para pemikir dan pakar hukum memandang perlu KUHP untuk direvisi sehingga memiliki nafas Keindonesiaan.

Dalam pertimbangan RUU KUHP disebutkan, pemerintah dan DPR menghendaki landasan hukum pidana Indonesia disesuaikan dengan perkembangan kehidupan masyarakat.

Selain itu, revisi KUHP nantinya juga bertujuan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia berdasarkan Pancasila yang merupakan landasan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. (WIL)