Artikel

Lewat Buku ‘Demokrasi di Era Post Truth’, Kepala BIN Ungkap 4 Strategi Hadapi Hoaks

 
 | ArusBaik

ArusBaik.id - Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan mengungkap berbagai permasalahan yang terjadi di era post truth (pasca-kebenaran) mulai dari ancaman hoaks hingga polarisasi.

Lewat sebuh karya buku berjudul ‘Demokrasi di Era Post Truth’, ia berujar saat ini banyaknya disinformasi terjadi sebagai dampak dari kemajuan teknologi komunikasi dan derasnya arus informasi di media sosial.

Melansir Kompas TV, ada empat kategori disinformasi post truth yang diproduksi dan disirkulasikan, yakni disinformasi politik, nonpolitik, hiburan, dan demi keuntungan finansial.

Menurut BG di dalam bukunya, media sosial memiliki kapasitas untuk menyebarluaskan informasi yang salah dan memunculkan teori-teori konspirasi liar. Bahkan bisa mendorong pembicaraan negatif mengenai kubu tertentu tanpa dasar yang jelas sampai terjadinya polarisasi di masyarakat.

“Disinformasi post truth juga berpotensi mengancam demokrasi elektoral. Caranya dengan menggunakan hoaks dan berita palsu serta manipulasi preferensi melalui big data dan micro-targeting.”

BG menjelaskan, emosi dan keyakinan personal lebih penting daripada fakta objektif di era ini sehingga antara kebohongan dan kebenaran sulit diidentifikasi.

Ia pun lantas mengambil contoh polarisasi politik pada Pemilihan Umum 2019 lalu yang lebih intens dan tajam dibandingkan dengan Pemilu 2014.

“Polarisasi diwarnai dengan produksi serta viralisasi konten-konten negatif seperti hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian, serta kampanye hitam yang memunculkan kegaduhan dan berpotensi mengancam kohesi sosial serta keamanan nasional,” tulis BG.

Oleh karenanya, menurut BG, ada empat strategi yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi praktik disinformasi post truth di era mendatang, yakni:

1. Memperkuat intelijen siber di Badan Intelijen Negara

Stretegi yang dapat dilakukan meliputi penyebaran informasi, pelatihan, peningkatan kualitas sumber daya manusia intelijen tentang dunia siber dan platform media baru.

2. Melakukan intervensi teknologi

Perlu dilakukannya inovasi teknologi factchecking oleh negara, industri platform, dunia akademis, maupun masyarakat sipil. Teknologi filter konten juga diperlukan untuk mendeteksi konten-konten negatif.

3. Memperbarui regulasi

Seluruh pihak yang terkait di ruang siber diharapkan dapat tersentuh hukum apabila melakukan pelanggaran. Dalam hal ini, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk penerapannya.

4. Pembentukan masyarakat kritis

Hal ini dilakukan mengingat sikap masyarakat mudah memercayai informasi yang bertebaran.

Artis Raffi Ahmad yang turut hadir saat acara mengupas tentang buku tersebut pada Sabtu, (11/12) menilai, buku ini sangat penting untuk dibaca para anak muda generasi saat ini karena mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Hoaks yang bertebaran pun sangat banyak sehingga masyarakat harus benar-benar bisa lebih pintar dalam bermain media sosial. Karenanya, Raffi pun mengajak untuk kita semua ikut membaca buku ini.

“Saya Raffi Ahmad, mengajak kepada semua golongan dan kalangan muda sangat penting buku Demokrasi di Era Post Truth untuk membimbing kita di era digital ini,” ujar Raffi.

Hal senada juga disampaikan oleh Youtuber Atta Halilintar. Ia berpendapat semua orang harus belajar menyaring setiap informasi yang diterima dan menangkal hoaks.

"Buku karya dari Prof Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan ini sangat luar bisa. Zaman sekarang sangat perlu kita belajar agar tidak jadi tangan-tangan hoaks," kata Atta dalam keterangannya dikutip Republika.co.id.

Dengan maraknya hoaks di media sosial, ia meminta sebagai penggunanya harus bisa memilih-milih dan mencerna suatu berita sebelum menyebarkannya kembali.

“Jangan langsung gampang mengunggah, itu bisa berakibat fatal untuk bangsa kita juga. Jangan langsung gampang mengunggah, itu bisa berakibat fatal untuk bangsa kita juga,” pungkasnya. (DIN)