Artikel

Satu Lagi, Peneliti Perempuan Asal Indonesia Pemegang Hak Paten Vaksin AstraZeneca

 
 | ArusBaik

ArusBaik.id - Ada satu lagi peneliti perempuan dibalik terciptanya vaksin AstraZeneca yang digunakan untuk vaksinasi Covid-19. Dialah Carina Citra Dewi Joe yang merupakan salah satu peneliti di Jenner Institute University Oxford.

Carina adalah salah satu dari pemegang hak paten tentang manufacturing scale up produksi dalam skala besar. Karena itu, tugasnya adalah memungkinkan vaksin Covid-19 AstraZeneca bisa digunakan di berbagai belahan dunia.

Peraih gelar PhD in Biotechnology di Royal Melbourne Institute of Technology, Australia ini menjelaskan hak paten vaksin AstraZeneca ada bermacam-macam. Salah satu pemegang hak paten vaksin AstraZeneca adalah Profesor Vaksinologi di Universitas Oxford, Sarah Gilbert. Namun Carina menjelaskan bahwa paten tersebut tidak dimiliki Sarah seluruhnya.

“Paten itu enggak cuma satu doang, total ada lebih dari enam pemegang hak paten vaksin virus Corona Oxford-AstraZeneca karena bidangnya berbeda-beda,” kata Carina dikutip dari Kompas.com, Selasa (3/8).

Secara sederhana, hak paten yang dipegangnya membuat Carina bertanggung jawab menemukan cara agar vaksin AstraZeneca bisa diproduksi lebih banyak. Hingga saat ini sudah lebih dari 600 juta dosis vaksin AstraZeneca telah dipasok ke 170 negara di seluruh dunia, termasuk 100 negara lebih yang tergabung dalam COVAX Facility.

Carina Joe telah tertarik dengan bidang bioteknologi khususnya manipulasi genetika sejak SMA. Dia pun menekuni bidang tersebut hingga menempuh pendidikan S1. Kemudian dia ditawari internship di perusahaan Australia yang kemudian menawarkannya melanjutkan studi hingga meraih gelar PhD untuk menunjang kariernya dalam bidang penelitian.

Pengalaman di industri bioteknologi, dijelaskannya turut berpengaruh hingga akhirnya terlibat dalam riset vaksin AstraZeneca untuk COVID-19 saat ini.

"Setelah PhD, lanjut internship 7 tahun. Karena saya latar belakangnya industri, sementara apply ke postdoc Oxford, mereka senang sama background industri saya," ujarnya.

Carina bercerita dibutuhkan waktu 1,5 tahun untuk menciptakan vaksin AstraZeneca. Padahal sedianya butuh waktu 10 tahun untuk membuat vaksin.

“Kita bekerja super keras, saya pikir setengah mati sih. Pas pandemi itu kita kerja tujuh hari seminggu, lebih dari 12 jam sehari. Tanpa libur tanpa istirahat selama 1,5 tahun itu. Supaya itu bisa digunakan di seluruh dunia,” ungkapnya.

Menurutnya hal ini akan menjadi janggal di telinga masyarakat sehingga ketika melihat masih ada masyarakat yang takut vaksin, baginya amat dimaklumi. Karena itu, perlu adanya edukasi kepada masyarakat mengenai produksi vaksin dan manfaatnya di tengah pandemi.

"Produksi vaksin khususnya vaksin COVID-19 tetap dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku. Hanya saja, proses birokrasi dipercepat dan proses pembuatan dilaksanakan secara paralel," ungkapnya.

Dia menambahkan proses birokrasi yang cepat bisa terjadi karena dilakukan secara paralel dan alasan kedaruratan. Sehingga proses pembuatan vaksin bisa memakan waktu yang jauh lebih singkat.

"Kenapa bisa cepat, karena kita lakukan paralel. Sebelumnya step by step, rencanakan dulu baru apply funding, 2-3 tahun kemudian baru dapat, barulah clinical trial. Kalau (pandemi) ini emergency," jelas Carina.

Ilmuwan muda asal Indonesia ini menjelaskan bahwa vaksin bersifat sebagai pencegah, maka pasien positif COVID-19 yang kemudian sadar akan kebutuhan vaksin tidak bisa lagi divaksinasi saat positif. Maka dari itu, ia mengajak kepada seluruh masyarakat untuk segera vaksin agar pandemi bisa cepat berakhir.

"Kita mau balik ke situasi semula, agar pandemi cepat berakhir, ayo vaksin segera,” imbuhnya.

Sebelumnya, salah satu peneliti muda dari Indonesia, Indra Rudiansyah juga turut berkontribusi di balik terciptanya vaksin Covid-19 AstraZeneca. Indra tergabung dalam tim Jenner Institute pimpinan Sarah Gilbert untuk membantu uji klinis. Tugasnya adalah menguji antibody response dari para relawan yang sudah divaksin.

Indra menuturkan proses pengembangan vaksin ini hanya membutuhkan waktu enam bulan. Dalam kurun waktu tersebut sudah menghasilkan data uji preklinis dan initial data untuk safety, serta imunogenitas pada manusia. (CHE)

Simak penjelasan ringkasnya berikut ini: