Artikel

Warisi Utang Era Soeharto, Pemerintah Berhasil Jaga Rasio Tetap Aman

 
 | ArusBaik

ArusBaik.id - Utang pemerintah yang ada saat ini sebenarnya merupakan warisan dari masa ke masa, sejak zaman Presiden Soeharto. Namun, pemerintahan Presiden Jokowi saat ini terus berupaya menjaga agar rasio utang negara tetap aman.

Mengutip laporan APBN kita edisi Mei 2021, Kementerian Keuangan menyebutkan rasio utang negara saat ini berada di angka 41,18 persen. Angka ini masih tergolong aman karena di bawah batas yang ditentukan UU Keuangan Negara yakni maksimal 60 persen dari PDB.

Analis politik dan ekonomi Rustam Ibrahim menyebutkan, sejak pemerintahan Presiden Habibie hingga Presiden Jokowi (2019), kesejahteraan rakyat meningkat. PDB per kapita meningkat 4 kali lipat dari tahun 1998-2019, dari 1.000 jadi 4.000 dollar AS.

“Penambahan utang luar negeri (LN) masa Presiden Jokowi sangat besar. Tapi juga pembangunan infrastruktur mungkin lebih banyak dibanding masa Presiden Soeharto selama 32 tahun. Misalnya panjang jalan tol dan rel KA, pembangunan bandara dan pelabuhan baru, pembangunan listrik pedesaan, dan lain-lain,” jelas Rustam dikutip dari cuitan akun twitter-nya pertengahan 2020 lalu.

Menurut Rustam, utang negara telah ada sejak zaman Presiden Soeharto. Beliau berutang sejak 1967 untuk membiayai pembangunan. Utang ini pun terus bertambah hingga beliau lengser pada 1998.

"Kalau mau jujur bernarasi, sebetulnya bapak utang luar negeri Indonesia adalah Presiden Soeharto. Untuk pembangunan beliau berutang sejak 1967 dan menambah utang setiap tahun sampai lengser pada 1998. Presiden-presiden berikutnya hanya meneruskan menambah utang sambil membayar cicilan dan bunga utang," kata Rustam.

Lebih lanjut Rustam berpendapat, rezim Orde Baru mendapatkan utangan berkat pembentukan konsorsium negara-negara pemberi utang yang dimulai sejak tahun 1967 dan diberi nama Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI). IGGI terdiri dari sejumlah negara dan lembaga keuangan seperti Bank Dunia, IMF, dan ADB.

Selanjutnya setelah IGGI bubar tahun 1992, dibentuk lagi kelompok yang sama bernama Consultative Group on Indonesia (CGI) sampai tahun 1998.

Rustam menyebutkan pembangunan Indonesia selama 32 tahun dibiayai Presiden Soeharto dengan utang setiap tahun. Hasilnya, orang miskin berkurang dan pendapatan per kapita rakyat Indonesia naik sekitar 20 kali lipat, dari 50 menjadi sekitar 1.000 dollar AS per tahun (1998).

Namun, selanjutnya yang terjadi adalah krisis moneter.

“Melonjaknya utang Indonesia dalam rupiah, terjadi menjelang akhir pemerintahan Soeharto, yakni tahun 1998 setelah terjadi krisis moneter. Nilai tukar rupiah terjun bebas dari Rp2.500 menjadi sekitar Rp15.000 per 1 dollar AS (anjlok 600 %)," ujarnya.